
Suarapertama.com – Kepala Bidang Perbendaharaan Badan Pengelolaan Keuangan dan Anggaran Daerah (BPKAD) Kota Pekanbaru, Harianto, memberikan kesaksian mengejutkan dalam sidang kasus dugaan korupsi yang menjerat mantan Penjabat (PJ) Wali Kota Pekanbaru, Risnandar Mahiwa.
Sidang tersebut berlangsung di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, Selasa (20/5).
Selain Risnandar, perkara tersebut juga menjerat dua terdakwa lainnya. Yaitu, mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Indra Pomi Nasution dan mantan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Bagian (Kabag) Umum Setdako, Novin Karmila.
Harianto merupakan satu dari lima saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada persidangan tersebut.
Dalam persidangan, Harianto mengungkap adanya permintaan percepatan pencairan dana Tambahan Uang (TU) dari Sekretariat Daerah Kota (Setdako) Pekanbaru pada tahun anggaran 2024, dengan nilai mencapai Rp11 miliar pada bulan November.
Plt Kabag Umum Setdako, Novin Karmila, disebut sebagai pihak yang aktif meminta percepatan pencairan melalui sambungan telepon. “Ketika itu ada lewat telepon minta tolong cairkan.
“Tolong pencairan TU yang sudah dimasukkan. Bid, kami mau ajukan TU, minta tolong ya,” ucap Harianto menirukan permintaan Novin di hadapan majelis hakim yang diketuai Delta Tamtama.
Selain Novin, ajudan Risnandar Mahiwa, Nugroho alias Untung, juga disebut beberapa kali menghubungi Harianto terkait pencairan TU tersebut. Bahkan, dalam sebuah rapat di rumah dinas Risnandar yang dihadiri sejumlah pejabat Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru, termasuk Harianto, ada arahan langsung dari Risnandar dan Indra Pomi agar pencairan dana TU Setdako diprioritaskan.
Setelah dana TU cair, Harianto mengaku kembali dihubungi oleh Novin yang menawarkan sejumlah uang sebagai bentuk terima kasih atas bantuannya. “(Novin) suruh ambil uang, “Mas ada sedikit ini, ambil lah,” lanjut Harianto.
Ketika JPU KPK bertanya terkait uang tersebut, Harianto menjawab kalau saat itu Novin tidak menjelaskan. Meski demikian, Harianto tetap menerima uang tersebut di pinggir jalan depan Kantor BPKAD Pekanbaru dalam bentuk amplop coklat berisi uang pecahan merah senilai Rp30 juta. Uang itu kemudian dikembalikan oleh Harianto melalui rekening penampung KPK.
Dalam kesaksiannya, Harianto juga membeberkan adanya istilah kontribusi 10 persen dalam pemotongan dana TU dan Ganti Uang (GU).
Selain Harianto, JPU KPK juga menghadirkan sejumlah saksi lainnya. Yaitu, Mario Abdillah, Auditor Ahli Muda Inspektorat Pekanbaru, Sukardi Yasin, Kabid Anggaran BPKAD Pekanbaru, serta Zikrullah dan Irwandi. Dua nama yang disebutkan terakhir merupakan Fungsional Analis Kebijakan Ahli Muda Setdako Pekanbaru
Sebelumnya dalam dakwaan, JPU KPK menyampaikan bahwa pada periode Mei hingga Desember 2024, Bagian Umum Setdako Pekanbaru mencairkan GU sebesar Rp26,5 miliar dan TU sebesar Rp11,2 miliar, dengan total Rp37,79 miliar.
Dari jumlah tersebut, diduga dipotong dan diterima secara tidak sah sebesar Rp8,95 miliar. Rinciannya, Risnandar Mahiwa menerima Rp2,91 miliar, Indra Pomi Rp2,41 miliar, dan Novin Karmila Rp2,03 miliar. Sementara itu, ajudan Risnandar, Nugroho Dwi Triputro alias Untung, menerima Rp1,6 miliar.
“Uang itu dibayarkan seolah-olah mempunyai utang kepada Terdakwa Risnandar Mahiwa, Indra Pomi Nasution dan Novin Karmila serta Nugroho Dwi Triputro. Padahal pemotongan serta penerimaan uang tersebut bukan merupakan utang,” jelas JPU.
Selain pemotongan anggaran, para terdakwa juga didakwa menerima gratifikasi yang tidak pernah dilaporkan kepada KPK dalam waktu 30 hari sebagaimana diatur undang-undang.
Risnandar menerima gratifikasi sebesar Rp906 juta dari delapan ASN berupa uang tunai, pakaian, dan tas mewah. Indra Pomi memperoleh Rp1,215 miliar dari sejumlah pejabat Pemko Pekanbaru, sedangkan Novin menerima Rp300 juta dari Rafli Subma dan Ridho Subma.