Skip to content
Suara Pertama

Suara Pertama

Bersuara dengan Berita

Primary Menu
  • Home
  • Politik
  • Ekonomi & Bisnis
  • Pendidikan
  • Peristiwa
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Opini
  • Lainnya

Mengapa Gugatan Ini Penting bagi Keadilan dan Aturan Hukum di Universitas?

Riko 19 Agustus 2025
Mengapa Gugatan Ini Penting bagi Keadilan dan Aturan Hukum di Universitas?

Penulis: Prof. Dr. Eng. Ir. Azridjal Aziz, ST., MT., IPU., ASEAN Eng. Dosen senior Universitas Riau (UNRI) dan Dekan Fakultas Teknik periode 2021-2025.

Suarapertama.com – Gugatan yang diajukan oleh Prof. Dr. Eng. Ir. Azridjal Aziz, ST. MT. IPU. ASEAN Eng., seorang dosen dan mantan Dekan Fakultas Teknik Universitas Riau periode 2021-2025, terhadap Rektor Universitas Riau di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pekanbaru bukan semata-mata merupakan persoalan pribadi. Gugatan ini diajukan dengan tujuan fundamental untuk menegakkan rasa keadilan dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan internal yang berlaku di lingkungan Universitas Riau dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini adalah upaya krusial untuk menjaga integritas tata kelola universitas sebagai lembaga publik yang bertanggung jawab.

Permasalahan berpusat pada dua Keputusan Rektor Universitas Riau tertanggal 25 April 2025, yang dianggap cacat prosedur sebagaimana diatur dalam  Peraturan Rektor Universitas Riau Nomor 7 Tahun 2024 tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Ketua Jurusan/Bagian, Sekretaris Jurusan/Bagian, dan Koordinator Program Studi di Lingkungan Universitas Riau dan melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Keputusan-keputusan tersebut berpotensi merusak tata kelola akademik dan kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan tinggi. Permasalahan ini melampaui keluhan pribadi seorang individu. Ini adalah masalah yang menyentuh kepentingan publik yang lebih luas. Penekanan dalam permasalahan ini adalah “penegakan tata kelola yang baik dan perlindungan terhadap prosedur yang sah, bukan karena ketidaksukaan terhadap pihak tertentu”. Hal ini menandakan bahwa permasalahan ini berfokus pada isu-isu sistemik dalam administrasi publik di lingkungan universitas. Dengan membingkai masalah ini sebagai perjuangan untuk tata kelola yang baik dan kepatuhan terhadap aturan, tulisan ini dapat memberikan pemahaman yang lebih luas kepada masyarakat, termasuk mahasiswa, orang tua, dan akademisi lainnya. Ini menegaskan bahwa isu yang diangkat adalah tentang integritas institusi, bukan sekadar masalah personal.

Kronologi Singkat: pengangkatan Ketua dan Sekretaris Jurusan di lingkungan Universitas Riau seharusnya mengikuti prosedur yang telah ditetapkan secara jelas dalam Peraturan Rektor Universitas Riau Nomor 7 Tahun 2024 tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Ketua Jurusan/Bagian, Sekretaris Jurusan/Bagian, dan Koordinator Program Studi di Lingkungan Universitas Riau. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf a, b, dan c, serta Pasal 5 ayat (1) dan (2) peraturan tersebut, Dekan wajib memberitahukan Rektor mengenai berakhirnya masa jabatan pejabat paling lambat dua bulan sebelumnya. Setelah itu, Rektor akan memerintahkan Dekan untuk mengajukan satu calon yang memenuhi syarat. Apabila calon yang diajukan Dekan tidak memenuhi persyaratan atau tidak mengajukan calon baru, Rektor   dapat menunjuk, namun ini merupakan pengecualian, dan bukan prosedur utama.

 

Prof. Azridjal Aziz, selaku Dekan Fakultas Teknik Universitas Riau periode 2021-2025, telah melaksanakan prosedur pengusulan ini dengan patuh. Ia telah berkordinasi secara lisan dengan Rektor dan diinstruksikan Rektor untuk mengikuti prosedur sesuai Peraturan Rektor, kemudian mengirimkan surat pemberitahuan resmi kepada Rektor pada tanggal 19 Februari 2025, perihal akan berakhirnya masa jabatan pejabat. Selanjutnya, menindaklanjuti instruksi/perintah Rektor melalui surat resmi 27 Februari 2025, perihal Ketua dan Sekretaris Jurusan, Prof. Azridjal Aziz selaku Dekan saat itu (Dekan Lama) telah mengajukan calon Ketua dan Sekretaris Jurusan melalui surat resmi kepada Rektor pada tanggal 11 Maret 2025, perihal Pengiriman Ketua dan Sekretaris Jurusan, Koordinator Program Studi yang sudah lengkap dengan dokumen persyaratan umum dan khusus sesuai ketentuan.

   

Namun, pada tanggal 10 April 2025, terjadi pergantian Dekan Fakultas Teknik. Hanya tujuh hari setelah pelantikan Dekan tersebut, tepatnya pada 17 April 2025, Dekan baru mengajukan surat perihal perubahan usulan calon Ketua, Sekretaris Jurusan Fakultas Teknik. Usulan ini mengganti sebagian besar nama yang sebelumnya diusulkan oleh Dekan lama. Jeda waktu tujuh hari antara pelantikan Dekan baru dan pengajuan usulan baru ini sangat mencolok. Peraturan Rektor Nomor 7 Tahun 2024 secara eksplisit mensyaratkan periode pemberitahuan dua bulan bagi Dekan untuk proses pemberitahuan untuk selanjutnya diproses. Kontras yang tajam ini menunjukkan adanya pelanggaran procedural yang sangan fundamental. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai legitimasi usulan Dekan baru dan, pada gilirannya, keputusan Rektor yang didasarkan pada usulan tersebut. Situasi ini secara langsung merongrong “asas legalitas” dalam administrasi pemerintahan.

   

Ironisnya, Rektor kemudian menerbitkan SK pengangkatan pejabat definitif pada 25 April 2025, berdasarkan usulan dari Dekan baru yang baru menjabat tujuh hari, dan mengabaikan usulan sah dari Dekan lama yang telah diajukan sesuai prosedur dan tenggat waktu dua bulan.   Selain itu, terdapat beberapa kejanggalan administratif yang semakin memperkuat dugaan adanya masalah dalam proses pengangkatan ini:

• Pada 26 April 2025, yang bukan hari kerja (hari Sabtu), Rektor menerbitkan surat perintah Pelaksana Tugas (Plt) untuk jabatan yang SK definitifnya sudah terbit sehari sebelumnya (25 April 2025). Perintah Plt ini berlaku mundur sejak 21 April 2025 hingga 12 Juli 2025, atau hingga pejabat definitif dilantik.

 

• Pada hari yang sama, bukan hari kerja (26 April 2025), Rektor juga menerbitkan surat undangan pelantikan pejabat definitif untuk tanggal 28 April 2025.

• SK pengangkatan pejabat definitif tidak disertai dengan pencantuman pemberhentian pejabat sebelumnya, suatu kelaziman dalam administrasi kepegawaian.

Penerbitan perintah Plt setelah SK pengangkatan definitif untuk posisi yang sama, apalagi dilakukan bukan pada hari kerja (hari Sabtu), menciptakan ketidakjelasan dan inkonsistensi administratif yang parah. Ini menunjukkan kurangnya kecermatan dan koordinasi dalam Rektorat, atau bahkan upaya sengaja untuk menciptakan ambiguitas seputar pengangkatan tersebut. Situasi ini mengindikasikan ketiadaan “asas kecermatan”, “asas kepastian hukum”dan “asas pelayanan yang baik”, yang pada akhirnya mengikis kepercayaan terhadap proses administrasi universitas. Ini bisa diartikan sebagai upaya untuk membenarkan atau merapikan pengangkatan definitif yang tidak teratur secara retroaktif.

Menanggapi keputusan tersebut, Dekan lama telah mengajukan Surat Keberatan Administratif sebanyak dua kali, yaitu pada 27 April 2025 (via WhatsApp dan  surat fisik) dan 2 Mei 2025 (surat fisik). Namun, hingga gugatan ini diajukan ke PTUN Pekanbaru, Rektor tidak pernah memberikan tanggapan atau jawaban atas keberatan tersebut. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 77, secara jelas mengamanatkan batas waktu 10 hari kerja bagi pejabat untuk menanggapi keberatan administratif. Apabila tidak ada tanggapan dalam jangka waktu tersebut, keberatan dianggap dikabulkan. Kegagalan Rektor untuk merespons dua keberatan formal dari Dekan lama merupakan pelanggaran langsung terhadap kewajiban hukum ini. Keheningan Rektor secara hukum berarti permintaan Dekan lama (untuk mencabut SK dan kembali ke usulan awal) seharusnya telah diterima/ dianggap diterima. Tindakan pasif Rektor ini berubah menjadi pelanggaran hukum, yang secara signifikan memperkuat usulan Dekan lama dan menyoroti pengabaian hak warga negara (dalam hal ini, mantan pejabat) untuk mendapatkan jalur administratif. Ini juga menunjukkan pelanggaran terhadap “asas pelayanan yang baik”. 

  

Gugatan ini didasarkan pada serangkaian pelanggaran hukum administrasi negara yang serius, khususnya terkait dengan penyalahgunaan wewenang/kesewenang-wenangan dan pengabaian Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan secara tegas melarang penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintahan. Pasal 17 ayat (1) dan (2) serta Pasal 18 ayat (1) huruf c menyatakan bahwa Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan wewenang, termasuk melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang, dan bertindak sewenang-wenang yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

   

Tindakan Rektor yang mengabaikan usulan sah dari Dekan lama yang telah sesuai prosedur dan menerima usulan dari Dekan baru yang diajukan dalam waktu yang tidak sesuai dengan Peraturan Rektor Nomor 7 Tahun 2024, dapat dikategorikan sebagai tindakan melampaui wewenang dan bertentangan dengan prosedur yang berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan tersebut diambil tanpa mempertimbangkan “asas legalitas”, yang mengedepankan dasar hukum dari setiap keputusan dan tindakan pejabat pemerintahan.

   

Gugatan ini juga secara spesifik menyoroti pelanggaran terhadap beberapa Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pelanggaran AUPB ini tidak terjadi secara terpisah, melainkan membentuk pola mal-administrasi yang saling terkait. Misalnya, kurangnya “kecermatan” dalam meninjau usulan secara langsung, yang mengarah pada pelanggaran “kepastian hukum” dan dapat menjadi indikasi adanya “ketidakberpihakan” atau bahkan “penyalahgunaan wewenang” dan melanggar “asas pelayanan yang baik” karena keberatan tidak ditanggapi. Ini menunjukkan adanya masalah sistemik dalam praktik administrasi Rektorat, bukan sekadar kesalahan tunggal.

   

Prinsip Keberatan dianggap dikabulkan. Salah satu pilar penting dalam hukum administrasi adalah prinsip “keberatan dianggap dikabulkan”. Berdasarkan Pasal 77 ayat (5) dan (6) Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, jika pejabat yang berwenang tidak menyelesaikan keberatan administratif dalam waktu paling lama 10 hari kerja, maka keberatan tersebut secara hukum dianggap dikabulkan. Selanjutnya, pejabat terkait wajib menetapkan keputusan baru sesuai permohonan keberatan dalam waktu paling lama 5 hari kerja setelah berakhirnya tenggang waktu tersebut.

   

Kegagalan Rektor untuk menindaklanjuti kewajiban hukum ini, meskipun Penggugat telah mengajukan keberatan dua kali, merupakan pelanggaran hukum tambahan yang signifikan. “Diamnya Rektor”, jauh dari tindakan pasif, secara hukum menjadi pelanggaran aktif. Hal ini memperkuat argumen bahwa Keputusan Rektor yang menjadi objek sengketa cacat prosedur dan kehilangan dasar legalitasnya, sehingga memenuhi syarat untuk dibatalkan dan dicabut. Prinsip ini menegaskan pentingnya akuntabilitas pejabat publik, di mana bahkan “kelambanan atau ketidakresponsifan” dapat memiliki konsekuensi hukum yang serius, memperkuat hak warga negara terhadap tindakan pemerintah yang sewenang-wenang atau tidak responsif.

Keputusan Rektor yang mengabaikan usulan sah dari Dekan lama tidak hanya menimbulkan kerugian bagi Dekan lama secara pribadi, tetapi juga memiliki dampak yang lebih luas dan merugikan bagi tata kelola Universitas Riau secara keseluruhan.

Bagi Dekan lama, keputusan Rektor ini menimbulkan kerugian moral dan reputasi yang sangat nyata. Sebagai Dekan sah yang menjabat saat proses administrasi pengusulan dilakukan, pengabaian usulannya melanggar kewenangan jabatan dan otoritas akademiknya. Ini menyebabkan ia kehilangan hak untuk menentukan Ketua Jurusan/Sekretaris Jurusan/Koordinator Program Studi di Fakultas Teknik sebagaimana kewenangannya telah diatur berdasarkan Peraturan Rektor Universitas Riau Nomor 7 Tahun 2024. Kerugian ini memenuhi unsur kerugian sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

   

Dampak dari keputusan Rektor ini meluas melampaui individu yang terlibat. Gugatan ini secara eksplisit menyebutkan “terganggunya atmosfir akademik dan merusak tata kelola yang baik” di lingkungan Fakultas Teknik Universitas Riau. Keputusan yang dianggap tidak sah secara prosedur ini menyebabkan ketidakstabilan tata kelola di tingkat jurusan, menimbulkan kebingungan dalam pelaksanaan tugas akademik, dan secara signifikan menurunkan kepercayaan sivitas akademika terhadap sistem pengelolaan universitas.

   

Keputusan Rektor juga bertentangan dengan prinsip otonomi pengelolaan perguruan tinggi yang harus dilaksanakan berdasarkan prinsip akuntabilitas, transparansi, nirlaba, penjaminan mutu, serta efektivitas dan efisiensi, sebagaimana diatur dalam Pasal 63 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip ini menunjukkan bahwa keputusan administratif, terutama yang dianggap sewenang-wenang atau cacat prosedur, memiliki konsekuensi yang jauh melampaui individu yang terlibat langsung. Hal ini dapat menyebabkan runtuhnya kepercayaan antara pimpinan dan komunitas akademik, menghambat manajemen yang efektif, dan pada akhirnya memengaruhi kualitas Tridharma Perguruan Tinggi (pendidikan, penelitian dan pengabdian). Gugatan ini, oleh karena itu, merupakan upaya memulihkan tidak hanya tatanan hukum tetapi juga kesehatan organisasi dan integritas lingkungan akademik secara keseluruhan.

   

Gugatan ini secara fundamental adalah tentang penegakan keadilan dan kepatuhan terhadap hukum. Dekan lama secara tegas menyatakan bahwa gugatan ini diajukan “demi penegakan tata kelola yang baik dan perlindungan terhadap prosedur yang sah, bukan karena ketidaksukaan terhadap pihak tertentu”. Pernyataan ini menegaskan bahwa motivasi utama di balik gugatan ini adalah masalah prinsip dan keadilan, bukan sentimen pribadi.

   

Kasus ini menyoroti pentingnya akuntabilitas dan transparansi dalam setiap keputusan administratif yang diambil di lembaga publik, termasuk universitas. Keputusan-keputusan yang tidak sesuai prosedur dapat merusak fondasi institusi dan mengikis kepercayaan publik. Dalam konteks ini, gugatan ni berfungsi sebagai pengingat kritis bahwa semua tindakan pejabat publik harus tunduk pada hukum dan dapat digugat jika melanggar ketentuan yang berlaku. Ini adalah bagian integral dari perlindungan hukum bagi warga masyarakat yang merasa dirugikan oleh keputusan atau tindakan pejabat pemerintah, sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Republik Indonesia  Nomor 30 Tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan.

Penting untuk dipahami bahwa universitas, meskipun memiliki otonomi dalam pengelolaannya, tetap merupakan badan publik yang tunduk pada hukum administrasi negara. Gugatan ini secara jelas mengidentifikasi Rektor sebagai “Pejabat Tata Usaha Negara” dan keputusan yang disengketakan sebagai “Keputusan Tata Usaha Negara”, yang berarti kasus ini berada di bawah yurisdiksi Pengadilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan. Hal ini menekankan bahwa institusi pendidikan tinggi, meskipun otonom, tidak kebal terhadap prinsip-prinsip administrasi publik yang baik. Otonomi tidak berarti kekuasaan absolut atau kekebalan dari pengawasan hukum. Gugatan ini berfungsi sebagai pengingat penting bahwa bahkan institusi akademik pun harus mematuhi standar hukum yang sama terkait keadilan, transparansi, dan legalitas seperti badan pemerintah lainnya.

   

Masalah ini merupakan momentum penting untuk mendorong perbaikan tata kelola di lingkungan Universitas Riau dan memastikan bahwa setiap keputusan administratif diambil dengan cermat, adil, dan sesuai dengan koridor hukum yang berlaku. Gugatan ini, terlepas dari hasil akhirnya, berfungsi sebagai kasus uji yang krusial bagi akuntabilitas administratif di dalam universitas-universitas di Indonesia. Ini memiliki potensi untuk menetapkan preseden bahwa para pemimpin universitas tidak berada di atas hukum dan harus mematuhi prosedur yang ditetapkan serta prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Hal ini dapat mendorong institusi lain untuk meninjau dan memperkuat proses administrasi internal mereka, sehingga mendorong transparansi dan keadilan yang lebih besar di seluruh sektor pendidikan tinggi.

Dengan adanya gugatan ini, diharapkan kepercayaan sivitas akademika dan masyarakat terhadap sistem administrasi universitas dapat kembali pulih, serta menjadi preseden bagi penegakan integritas dan kepatuhan hukum di seluruh lembaga pendidikan tinggi di Indonesia.

Continue Reading

Previous: Wapres Gibran Dijadwalkan Buka Pacu Jalur 2025: Lepas Hilir Pertama
Next: Hari Terakhir Diperbolehkan, tak Ada Lagi Jalur Uji Coba Gelanggang

Berita Terkait

Hari Terakhir Diperbolehkan, tak Ada Lagi Jalur Uji Coba Gelanggang

Hari Terakhir Diperbolehkan, tak Ada Lagi Jalur Uji Coba Gelanggang

Riko 19 Agustus 2025
Wapres Gibran Dijadwalkan Buka Pacu Jalur 2025: Lepas Hilir Pertama

Wapres Gibran Dijadwalkan Buka Pacu Jalur 2025: Lepas Hilir Pertama

Riko 19 Agustus 2025
RAPP Taja Lomba Foto Pacu Jalur 2025: Ajak Masyarakat Ikut Lestarikan Budaya Riau

RAPP Taja Lomba Foto Pacu Jalur 2025: Ajak Masyarakat Ikut Lestarikan Budaya Riau

Riko 19 Agustus 2025

Berita Terbaru

  • Hari Terakhir Diperbolehkan, tak Ada Lagi Jalur Uji Coba Gelanggang
  • Mengapa Gugatan Ini Penting bagi Keadilan dan Aturan Hukum di Universitas?
  • Wapres Gibran Dijadwalkan Buka Pacu Jalur 2025: Lepas Hilir Pertama
  • RAPP Taja Lomba Foto Pacu Jalur 2025: Ajak Masyarakat Ikut Lestarikan Budaya Riau
  • Revitalisasi Pasar Bawah Wajib Tuntas di Oktober 2025
Copyright © All rights reserved. | Suarapertama.com