
Suarapertama.com – Sejumlah daerah yakni Kota Pekanbaru, Kabupaten Cirebon, dan Kabupaten Jombang secara serempak menaikkan tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Khusus Kota Pekanbaru, saat ini Tarif PBB nya sebesar 300 persen.
Pengamat Ekonomi, Dahlan Tampubolon mengungkapkan kenaikan tarif tersebut sudah sesuai ketentuan dan aturan yang ada. Yakninya tertuang dalam Undang-undang HKPD.
Kenaikan ini dapat menurunkan ability to pay atau kemampuan untuk membayar PBB tersebut. Akibat dari turunnya kemampuan membayar, hal ini dapat mempengaruhi tingkat pendapatan asli daerah (PAD), Dahlan menjelaskan hal di atas dapat dijelaskan melalui teori Kurva Laffer.
Kurva ini menjelaskan relasi antara tarif pajak dan penerimaan pajak. Singkatnya, kurva ini menggambarkan bahwa terdapat suatu tarif pajak di antara 0% dan 100% yang dapat memberikan penerimaan pajak paling tinggi untuk suatu negara.
Menurut teori ini, pada titik ekstrem, yakni di ujung satu tarif 0%, dan di ujung lainnya tarif 100%, negara tidak bakal memperoleh apa-apa dari pengenaan pajak
“Kalau Tax Morale masyarakat bisa dijaga dan ability to pay semakin baik, PAD akan dengan sendirinya naik,” sebut Dahlan.
“Kurang dari 1 M dikenakan tarif 0,1% dan besar dari 1 M kena 0,2%. Dulu semuanya hanya 0,1%. Kalau dijadikan 0,5% atau maksimal, ya orang jadi menghindar dari bayar PBB,” ujarnya.
Dalam kurva tersebut, kenaikan tarif memang menaikkan penerimaan pajak di awal waktu, namun akan mencapai titik optimum dan kembali turun. Sedangkan masyarakat terus terbebani dengan pajak tersebut sedangkan PAD tidak optimum.
Namun, ia menyebut apabila masyarakat enggan membayar PBB akan alami keberatan saat menjual rumah, hal ini lantaran PBB tersebut menumpuk.
“Waktu mau jual aja yg ribet, karena numpuk dan NJOP nya tergantung sama penaksir, mereka yang menentukan ZNT,” ujarnya.
NJOP ini sangat tergantung dari lokasi, zonasi atau peruntukan, kondisi lingkungan hingga aksesibilitas. Intinya, harga serta pajak dari tanah dan bangunan di dalam gang sempit akan berbeda dari pinggir jalan raya.
Lebih lanjut, menurut Dahlan kasus di Kabupaten Pati bukan semata-mata karena kenaikan PBB, melainkan gaya bupati yang menentang demo hingga puluhan ribu massa .
“Harusnya tak terprovokasi, yang heboh, Bupati nya baru dan petentengan,” ungkapnya.