
Suarapertama.com – Pakar Lingkungan Universitas Riau, Dr Elviriadi,S.Pi.,M.Si merespon konflik antara masyarakat pendatang dengan pihak Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Dari total luas 81.793 hektare, saat ini hanya tersisa sekitar 12.561 hektare akibat adanya perambahan hutan yang semakin masif.
Dr Elviriadi menilai perlu adanya ketegasan dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau dalam menindak korporasi yang terlibat di dalam Kawasan TNTN.
“Ya korporasi yang terlibat harus ditindak, kalau bisa langsung cabut izinnya hari ini, jangan ditunda. Nanti datang ke Jakarta negosiasi lagi,” tegasnya.
Ia meminta agar Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) tidak hanya menindak secara menyita barang bukti, tapi juga meminta agar korporasi yang terlibat diberi sanksi pidana dan denda.
“Saya meminta satgas PKH memberikan sanksi pidana. Jangan cuman disita saja. Sanksi denda sama pidana,” ujarnya.
Ia menyebut lantaran korporasi yang terlibat telah meraup keuntungan puluhan triliun Rupiah dari aktivitas di Kawasan TNTN.
“Mereka sudah panen ratusan triliun Rupiah dari Tahun 1990 sampai sekarang 2025, kenapa tidak dikasih denda. Udah tidak bayar pajak. Selama ini tidak ada statement yang keras tentang korporasi,” ungkapnya.
Menurutnya, hutan yang telah gundul oleh aktivitas korporasi dan masyarakat pendatang perlu dilakukan pemilihan kembali. “Kalau bisa ditebang sawitnya. Tanam lagi pohonnya, intinya tanah itu harus dikembalikan lagi ke TNTN,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menyebut adanya keterlibatan ninik mamak dengan batin untuk mengklaim tanah nya sebagai ‘tanah adat’. Padahal sejatinya, kata Elviriadi, tanah tersebut merupakan tanah milik negara.
“Harusnya juga Pemkab Pelalawan memberikan teguran kepada ninik mamak agar tidak lagi menambah penjualan areal tanah klaim tanah adat, yang sejatinya merupakan tanah milik negara,” jelasnya.
Bagaimanapun, ia mendukung langkah Satgas PKH karena kawasan hutan seharusnya tidak boleh dijamah untuk kepentingan bisnis.
Menanggapi demo masyarakat yang mengatasnamakan AMMP Rabu (18/6) lalu, ia menilai persoalan TNTN ini menyisakan masalah sosial demografis.
“Ya ternyata menyisakan masalah sosial demografis, akan terjadi perlawanan masyarakat. Artinya ada juga yang difikirkan Pemprov atau Pemkab bagaimana mengurai problem sosial demografis setelah selesai pro lingkungan mendukung konservasi,” ujarnya.