
Suarapertama.com – Pembina Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI), Mulyanto, menyambut baik rencana pemerintah yang ingin membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sebagai pembangkit listrik alternatif untuk menekan emisi karbon.
“Kalau pemerintah serius semestinya menyiapkan dengan baik lembaga pendukungnya,” kata Mulyanto, Kamis (29/5/2025), merespon Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) untuk periode 2025-2034 dengan mulai memasukkan opsi pembangunan PLTN).
Ia menilai pemerintah sekarang ini terkesan kontradiktif. Di satu sisi pengoperasian PLTN digesa terlaksana pada tahun 2032, yang direncanakan dengan daya 0,3 GW. Sementara Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), sebagai Badan Pelaksana Ketenaganukliran sesuai dengan UU No. 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, justru malah dibubarkan dan fungsinya dilebur ke dalam BRIN.
Anggota Komisi Energi DPR RI tahun 2019-2024 ini menyayangkan pembubaran BATAN. “Kita butuh BATAN untuk menyiapkan SDM, infrastruktur nuklir serta riset dan pengembangan nuklir yang lebih utuh dan terpadu. Kenapa dibubarkan?” tandasnya.
Mulyanto menambahkan, sebagai pengganti operasi base load PLTU, semestinya PLTN yang akan dibangun bukan jenis reaktor eksperimental dengan daya kecil dan bersifat coba-coba. Indonesia memerlukan PLTN yang mapan dan handal untuk operasi komersil sehingga keamanan masyarakat secara meyakinkan dapat terpenuhi.
Untuk diketahui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia resmi meluncurkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) untuk periode 2025-2034 di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (26/5/2025).
Bahlil menyebut, dalam RUPTL 2025-2034 ini, Indonesia membutuhkan tambahan pembangkit listrik baru secara total 69,5 Giga Watt (GW). Dimana dari total kapasitas tersebut, 76 persennya berasal dari Energi Baru Terbarukan (EBT) dan juga penyimpanan (storage).(*)