
Suarapertama.com – Kementerian LHK mendata bahwa sudah 900 hektare lahan gambut di Provinsi Riau terbakar dari total luasan 4,9 juta hektare lahan yang ada.
Ini terungkap dalam rapat koordinasi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Dr. Hanif Faisol Nurofiq dengan sejumlah stakeholder di Pekanbaru, Selasa (22/7).
Ditegaskannya bahwa penanganan Karhutla tak boleh setengah hati.
Payung hukum sudah jelas: Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2020 tetap berlaku dan mengikat semua pihak, tanpa terkecuali.
“Inpres ini tidak gugur meski kabinet berganti. Ini mandat negara. Semua harus bergerak,” tegas Hanif.
Lahan gambut ini menjadikannya kawasan rawan Karhutla tertinggi secara nasional. Bahkan, setengah dari total lahan gambut Indonesia berada di wilayah ini.
Meski hujan masih mengguyur beberapa wilayah, kondisi lahan gambut yang terus dikeringkan untuk ekspansi perkebunan khususnya kelapa sawit membuat potensi kebakaran semakin besar.
Pemerintah pun bergerak cepat dengan menyiapkan tiga pesawat untuk operasi modifikasi cuaca (TMC) demi menciptakan hujan buatan di zona rawan api.
Namun, menurut Hanif, kekuatan utama tetap berada pada pasukan darat. “Water bombing penting, tapi tidak cukup. Lahan gambut butuh penanganan langsung. Pasukan darat harus diperkuat, mulai dari aparat, TNI-Polri, BNPB, hingga masyarakat,” ujarnya.
Langkah tegas juga ditekankan terhadap pelaku pembakaran. Baik perorangan maupun korporasi akan dijerat tanpa kompromi, dengan ancaman pidana, perdata, hingga sanksi administratif.
Bahkan, sejumlah korporasi pemegang konsesi yang lalai telah dikenai tuntutan ganti rugi hingga triliunan rupiah.
“Tidak ada toleransi. Setiap pelanggaran akan diproses sesuai UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” tegas Hanif.